Definisi
Alih Teknologi :
Pengalihan kemampuan memanfaatkan dan menguasai ilmu pengetahuan
dan teknologi antar lembaga, badan, atau orang, baik yang berada dilingkungan
dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri ke dalam negeri dan
sebaliknya.
Istilah alih teknologi (transfer of technology) didefinisikan United Nation Centre on Transnational Corporation (UNTC):
UNCTC mempergunakan istilah teknologi dalam dua pengertian yaitu dalam
pengertian sempit dan dalam pengertian luas. Dalam arti sempit, teknologi
adalah “ technical knowledge or know-how that is knowledge related to
the methods and techniques of production of goods and services.”Sedangkan
istilah teknologi diartikan oleh UNCTAD sebagai:
Technology is an essential input of production, and as such it is
bought and sold in the world market as a commodity embodied in one of the
following forms (i) in capital goods and sometimes intermediary goods which are
bought and sold in markets, particulary in connection with investment decision;
(ii) in human labour usually qualified and sometimes highly qualified and
specialized manpower, with capacity to make correct use of the equipments and
techniques and to master a problem solving and information producing apparats;
(iii) in information, whether of a technical or commercial nature, which is
provided in market, or kept secret as part of monopolistic practice.
Hukum adalah bagian dari teknologi karena teknologi terkait dengan
masalah konstitusi dan
fungsinya sebagai legal structure yang fundamental. Didalam
konstitusi suatu negara tercakup berbagai pertimbangan dan keputusan manusia
yang berposisi sebagai teknokat, birokrat dan politikus.
Hukum menentukan teknologi canggih, teknologi menengah atau teknologi merakyat
Peranan Hukum Dalam
Alih Teknologi
Teknologi jika dikaitkan dengan ilmu pengetahuan mencakup (a)Produk ; (b)Proses dan (c) Paradigma Etika. Teknologi sebagai ‘The application of science’ berinduk pada ilmu pengetahuan (science) yang merupakan ‘the enlarging international pool of knowledge equally valid every where Ilmu pengetahuan semula berawal dari pengetahuan (knowledge) yang lambat laun menjadi disiplin ilmu yang mandiri manakala cabang-cabang ilmu melepaskan diri dari ‘batang’ filsafatnya dan berkembang sesuai metodologinya.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 diletakkan dasar dan arah pembangunan ekonomi yang tentu didalamnya tercakup masalah alih teknologi. Dalam Pasal 33 ditetapkan bahwa : “Perekonomian Indonesia di susun oleh … Cabang-cabang produksi …Bumi, air dan kekayaan alam…dipergunakan sebesar-sebesar kemakmuran rakyat”. Pembangunan ekonomi dimaksudkan untuk mencapai Tujuan Nasional, disadari bahwa bangsa Indonesia memiliki kekurangan dari segi modal, keahlian dan teknologi. Untuk itu diperlukan serangkaian kebijakan dan aturan yang dapat memenuhi kebutuhan itu, antara lain, melalui kebijakan alih teknologi.
Kebijakan alih teknologi diletakkan oleh UU No. 1/1967 Tentang Penanaman Modal Asing..Dalam Pasal 2 UU No. 1/1976 dinyatakan bahwa “…modal asing meliputi … penemuan-penemuan milik orang asing …”. Lebih lanjut dalam Pasal 12 UU No. 1/1976 ditetapkan : “Perusahaan-perusahaan modal asing wajib menyediakan fasilitas dan pendidikan … bagi warga negara Indonesia”. Tujuan ketentuan ini agar berangsur-angsur tenaga kerja asing dapat digantikan oleh tenaga kerja Indonesia.
Komitmen awal Pemerintah mengundang investor asing melalui UU No. 1/1967 bahwa modal asing tersebut akan dijadikan pelengkap dalam pembiayaan pembangunan, disamping pajak,tabungan masyarakat (public saving) dan lain-lain. Hal ini tercermin dalam asas-asas yang terdapat dalam UU tersebut antara lain : (a) asas manfaat yang sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat, (b) asas ketidak-tergantungan dan (c) asas jaminan dan insentif
Setahun berikutnya diundangkan UU No. 6/1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Pasal 1 UU No. 6/1968 menetapkan : “Modal dalam negeri ialah bagian dari kekayaan masyarakat Indonesia, termasuk hak-hak benda-benda, baik yang dimiliki negara… swasta asing …” Pasal 3 menetapkan “Perusahaan nasional adalah perusahaan yang sekurang-kurangnya 51% modal dalam negeri …, perusahaan PMDN juga dimungkinkan terdapat unsur mitra asing, walaupun tidak dalam posisi mayoritas”.
Selanjutnya dengan tercapainya kesepakatan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement on Establishing the World Trade Organization – WTO) yang telah disahkan melaluiUU No. 7/1994,maka Indonesia berkewajiban menyempurnakan seluruh peraturan perundang-undangannya dengan WTO.Di bidang investasi, ketentuan Trade Related Investment Measures menjadi tolok ukurnya.
Selain UU No. 1/1967 dan UU No. 6/1968, masalah teknologi dan pengalihannya ditetapkan dalam undang-undang Paten. Pengaturan paten di Indonesia diawali dengan OctrooiWet 1912. Namun sebagai undang-undang produk Belanda, terdapat kebijakan yang tidak menguntungkan bagi Indonesia bahwa pendaftaran paten di Indonesia (Hindia Belanda) harus diteruskan ke Negeri Belanda untuk perolehan haknya. Tentu saja pengaturan ini dirasakan bertentangan dengan prinsip kedaulatan negara. Oleh karena itu sambil menunggu undang-undang Paten nasional terbentuk, dikeluarkan pengumuman Menteri Kehakiman No. J-S-5/41/4 tanggal 12 Agustus 1953 yang dimuat dalam Berita Negara No. 65 tanggal 28 Agustus 1953 dan Pengumuman Menteri Kehakiman No. J-G-1/2/17 tanggal 29 Oktober 1953 yang dimuat dalam Berita Negara No. 91 tanggal 13 November 1953. Kedua pengumuman tersebut mengatur penerimaan pendaftaran sementara atas permintaan paten.
Octrooi Wet digantikan dengan UU No. 6/1989 Tentang Paten sebagai undang-undang produk nasional. Dalam masalah paten terkait ketentuan Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights-IPR, Including Trade in Counterfeit goods(TRIPs) Sejalan dengan Persetujuan TRIPS dilakukan penyempurnaan UU No. 6/1989 dengan UU No.13/1997. No. 13/1997. Saat ini kedua peraturan tersebut telah dihapus digantikan dengan UU No. 14/2001 tentang Paten.
Pengaturan Hukum Tentang Alih
Teknologi di Indonesia
GBHN 1994 – 2004, Bab 1 A menyatakan bahwa :
"Mengembangkan
perekonomian yang berorientasi global sesuai dengan kemajuan teknologi dengan
membangun keunggulan kompetitif berdasarkan keunggulan komperatif ,sebagai
negara maritim dan agraris sesuai kompetensi dan produk unggulan di setiap
daerah , terutama pertanian dalam arti luas , kehutanan , kelautan ,
pertambangan , pariwisata ,serta industri kecil dan kerajinan rakyat. Dan untuk
mewujudkan hal tersebut maka pemanfaatan alih teknologi atas kekayaan
intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan mampu memanfaatkan
dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi guna kepentingan masyarakat dan
negara".
Maka dari itu perangkat hukum sebagai sarana pembaharuan sosial harus mampu untuk memberikan pengaturan terhadap perkembangan baru khususnya dalam pemanfaatan alih teknologi tersebut . untuk itu alih teknologi harus dapat diatur secara hukum Indonesia, sebagai negara berkembang menyadari bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai peranan penting dalam mempercepat pembangunan sosio ekonomi nasional dan khususnya dalam memperlancar peningkatan produksi dan memasukkan teknologi asing yang cocok yang tepat dari luar negeri kedalam negeri dengan ketentuan-ketentuan, syarat-syarat yang menguntungkan bagi kepentingan nasional berarti akan memperbesar peranan tersebut Indonesia dalam upaya mensejahtrakan masyarakatnya .
Pengaturan tentang alih teknologi perlu diperhatikan dalam kerangka untuk masuknya teknologi baru di Indonesia, apakah melalui kerjasama lisensi, pemegang hak cipta berhak memberikan lisensi kepada pihak lain berdasarkan surat perjanjian lisensi. Pembangunan industri untuk Indonesia sangat diperlukan terutama dalam kaitan dengan penemuan baru. Suatu penemuan baru harus dapat direaksir segera dimana paten atau penemuan tersebut didaftarkan.Pihak-pihak dapat memulainya pada pengadilan negeri untuk menggunakan paten tersebut dan kepada pihak yang menggunakan lisensi wajib tersebut harus memberikan royalti yang wajar kepada pihak pemegang paten tersebut.
Berdasarkan kategori di atas jelas terlihat bahwa penggunaan teknologi baru atau alih teknologi harus mendapat pengaturan yang memadai sehingga dunia usaha akan terhindar dari peniruan teknologi lain, dan hal ini sejalan dengan persetujuan Pemindahan Teknologi Dalam Aspek-aspek Hukum Dari Pengaruh Teknologi, umumnya tentang tarif dan perdagangan yang merupakan perjanjian perdagangan yang pada dasarnya bertujuan menciptakan perdagangan bebas.yang diharapkan membantu menciptakan pertumbuhan ekonomi danpembangunan guna mewujudkan kesejahteraan manusia.
Persetujuan TRIP’s memuat norma-norma dan standard perlindungan bagi kekayaan intelektual manusia dan menempatkan perjanjian Internasional di bidang hak atas kekayaan intelektual sebagai dasar pengaturan hukum dalam bidang alih teknologi baik yang berkaitan dengan lisensi .Untuk itu perlu menjabarkan dengan tegas dan harus bagaimana mekanisme pengalihan teknologi dari pemilik teknologi asing kepada teknologi Indonesia,sehinga produksi suatu teknologi akan lebih meluas ke negera-negara berkembang..
Hukum sebagai sarana pembaharuan sosial harus mampu untuk memberikan pengaturan terhadap perkembangan baru, untuk itu alih teknologi harus dapat diatur secara hukum Indonesia, sebagai negara berkembang menyadari bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai peranan penting dalam mempercepat pembangunan sosio ekonomi nasional dan khususnya dalam memperlancar peningkatan produksi dari barang dan jasa dalam sektor industri dan memasukkarl teknologi asing yang cocok yang tepat dari luar negeri kedalam negeri dengan ketentuan-ketentuan, syarat-syarat dan harga yang menguntungkan bagi kepentingan nasional berarti akan memperbesar peranan tersebut.
Pengaturan tentang alih teknologi perlu diperhatikan dalam kerangka untuk masuknya teknologi baru di Indonesia, apakah melalui kerjasama lisensi atau melalui penanaman modal asing, pemegang hak cipta berhak memberikan lisensi kepada pihak lain berdasarkan surat perjanjian lisensi.
Pembangunan industri untuk Indonesia sangat diperlukan terutama dalam kaitan dengan penemuan baru. Suatu penemuan baru harus dapat direaksir segera dimana paten atau penemuan tersebut didaftarkan. Pihak-pihak dapat memula pengadilan negeri untuk menggunakan paten tersebut dan kepada pihak yang menggunakan lisensi wajib tersebut harus memberikan royalti yang wajar kepada pihak pemegang paten tersebut. Berdasarkan kategori di atas jelas terlihat bahwa penggunaan teknologi baru atau alih teknologi harus mendapat pengaturan yang memadai sehingga dunia usaha akan terhindar dari peniruan teknologi lain, dan Kalau ini sejalan dengan persetujuan
Bentuk Hukum
Alih Teknologi : Direct Investment, Indirect Investment
Dalam kaitan ini UNCTC menetapkan ada 9 (sembilan)bentuk perjanjian yang terkait dengan alih teknologi yakni :
(1) Foreign
direct invesment
(2) Joint
venture
(3) Licensing
(4) Franchising
(5) Management
contracts
(6) Marketing
contacts
(7) Technical
services contracts
(8) Turn
key contracts
(9) International
sub contracting
Sedangkan Rudi Prasetya
menyatakan masuknya teknologi (termasuk peralihannya) melalui :
a) direct investment
- PMA Penuh
atau joint venture (patungan)
- PMDN
b) Indirect
investment khususnya lisensi (termasuk franschising).
a.‘Direct Investment’
UU No. 1/1967 mengatur masalah ‘direct investment’ dimana
investor harus menanamkan modalnya dalam bentuk pendirian perusahaan (Perseroan
Terbatas, mengelola dan melakukan kontrol langsung atas
usahanya serta langsung menanggung resiko atas investasinya (pasal 1).
Umumnya investor berasal dari perusahaan transnasional atau multinasional dari
negara maju.
Ada beberapa motivasi mengapa mereka mau menanamkan modal diluar negaranya :
1.
Adanya kejenuhan pasar
dinegaranya, sehingga menimbulkan iklim kompetisi yang ketat dan cenderung
tidak sehat.
2.
Adanya peluang pasar
dinegara tujuan investasi atau sekitarnya dan hal itu dilakukan untuk ekspansi
pasar.
3.
Adanya ‘cost of
production’ yang tinggi disebabkan oleh mahalnya faktor-faktor
produksi, misalnya upah tenaga kerja tinggi; sumber daya alam yang terbatasyang
menyebabkan harga bahan baku menjadi mahal, sementara sumber daya
alam di negara tujuan investasi sangat signifikan.
4.
Pendayagunaan kembali
mesin-mesin atau teknologi yang dinegaranya sendiri mungkin sudah usang dan
dilarang untuk dipakai, misalnya, karena damapak negatif yang signifikan ini
(ini harus diwaspadai).
Dalam kaitan dengan alih
teknologi , Pasal 2 UU No. 1/1967 menetapkan bahwa :
” alat-alat
perusahaan dan penemuan-penemuan (Invention) baru milik orang asing termasuk
kategori modal asing”. Dalam arti bahwa alat-alat dan penemuan tersebut dapat
dianggap sebagai inbreng(pemasukan yang bernilai ekonomis dan
dikonversi sebagai saham). Untuk itu perlu diwaspadai agar tidak terjadi mark
up harga dan penilaian teknologi secara berlebihan. Alat-alat dan
penemuan-penemuan baru tersebut seyogyanya sudah di nilai inclusive sebagai inbreng pada
perusahaan. Namun di dalam praktek, para investor dengan kepiawiannya
masih dapat menuntut royatly di luar interest selaku
pemegang saham, dengan dalih bahwa keahlian atau know how untuk
mengoperasikan alat-alat terebut adalah diluar kesepakatan yang ada dan oleh
karena itu harus dihargai; hal yang sama terjadi manakala invensi atau
penemua-penemuan tersebut membutuhkan know-how untuk
mengaplikasikannya. Satu hal lagi yang penting untuk diwaspadai jangan sampai
alat-alat perusahaan atau penemuan-penemuan baru tersebut ‘sesuatu’ yang sebenarnya
dinegaranya sendiri (house country) sudah usang (obsolote) atau
bahkan dilarang karena mencemarkan lingkungan, namun dengan perhitungan agar
investasinya dalam menhasilkan alat tersebut dapat kembali , maka alat-alat
perusahaan tersebut dibawa serta dalam rangka investasinya di negara tujuan
investasi (host country) yang relatif memiliki bargaining
position lebih lemah. Masih berkenaan dengan alat-alat perusahaan dan
penemuan-penemuan, seringkali investor asing melarang partner lokal untuk melakukan
perbaikan yang sifatnya pengembangan. Hal inilah yang sering dikritisi bahwa
sekian tahun perusahaanPMA di Indonesia “ Bangsa kita hanya memiliki
kemampuan sebatas‘tukang”.
Dalam UU No. 1/1967
sebenarnya diatur alih teknologi dalam 3 (tiga) pengertian :
1.
a.
Transfer of knowledge or skill
2.
b.
Transfre of share (divestasi)
3.
c.
Transfer of employee
Berkaitan dengan transfer of knowledge, Pasal 12 UU No. 1/1967 mewajibkan investor untuk mendidik tenaga kerja Indonesia sebagai upaya pengembangan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan inilah yang idealnya, menjadi sarana alih teknologi. Namun harus diwaspadai manakala mengikuti pendidikan yang diselenggarakan pihak asing, jangan sampai kita terkecoh, maksud hati memperoleh pengetahuan atau teknologi dari mereka, kenyataannya justru kita yang dijadikan obyek penelitian guna mengembangkan pengetahuan atau teknologi mereka agar dapat mempertahankan posisi determinan dan dominannya terhadap negara berkembang.
Transfer of share atau Indonesianisasi saham (divestasi) tujuannya adalah untuk percepatan penguasaan kendali perusahaan (berikut perangkat lunaknya, informasi dan teknologi). Dalam upaya pencapaian tujuan tersebut sebelum berlakunya PP No. 20/1994 Tentang Kepemilikan Saham Asing Pada Perusahaan Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman modal, kebijakan Pemerintah menetapkan bahwa dalam tempo 15 (lima belas) atau 20 (dua puluh) tahun sejak produksi komersil posisi partner Indonesia harus menjadi mayoritas 51% : 49% dalam kepemilikan saham pada suatu perusahaan PMA. Kenyataannya meski partner Indonesia sudah dalam posisi mayoritas yang asumsinya akan mengendalikan perusahaan, toh kita harus tetap mengakui keunggulan partner asing yang sangat piawai dalam ‘bermain’ di celah-celah hukum, misalnya, kendali tetap mereka pegang melalui berbagai perjanjian seperti technical assistant agreement, management agreementdan lain-lain. Adanya kenyataan itu sebenarnya bertentangan dengan prinsip National Treatment dan Most Favoured Nation yang menjadi prinsip dasar WTO.
Transfer of employee ditetapkan dasar pada Pasal 11 yang menetapkan bahwa “ Tenaga kerja asing dapat dipakai di perusahaan, PMA, sepanjang jabatan tersebut belum dapat diisi oleh pengusaha Indonesia”. Ada catatan disini dalam praktek tenaga kerja asing untuk jabatan yang sama dapat memperoleh upah 10 (sepuluh) kali bahkan lebih dari tenaga kerja Indonesia. Berdasarkan kenyataan tersebut nampak bahwa yang terjadi adalah sell bukan share apalagi transfer of technology yang dapat digunakan sebagai sarana alih teknologi. Memang dalam asal 11 dimungkinkan memperkerjakan tenaga kerja asing, tetapi keahliannya harus ditransfer kepada tenaga kerja Indonesia.
Secara psikologis UU No. 1/1967 tentang PMA dengan UU No. 6/1968 memiliki keterkaitan yakni mengatur suatu badan usaha (berbentuk Perseroan Terbatas) dengan fasilitas tertentu. Perbedaannya, jika UU No. 1/1967 dimaksudkan untuk mengundang investor asing ke Indonesia, sedangkan UU No. 6/196 8untuk melindungi investor dalam negeri. Dalam pengalamannya ada ‘sedikit’ kontradiksi. Hal ini dapat dilihat UU No. 1/1967 dalam Pasal 18 menetapkan perusahaan PMA dibatasi jangka waktu berusahanya selama 30 tahun, sedangkan Pasal 6 UU No. 1/1968 membatasi jangka waktu perusahaan asing,
1.
dibidang perdagangan
berakhir pada tanggal 30 Desember 1997
2.
dibidang industri
berakhir pada tanggal 31 Desember 1997
3.
dibidang lainya akan
ditentukan lebih lanjut oleh Pemerintah daam batas waktu 10 s/d 30 tahun.
Ketentuan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan PP No. 36/1997 Jo PP No. 19/1988 Tentang Pengakhiran Kegiatan Usaha Asing dalam bidang Perdagangan dan Kemudian diikuti dengan SK Menteri Perdagangan No. 77/KP/III/78 Jo SK No.376/KP/XI/88 Tentang Kegiatan Perdagangan Terbatas Pengusahaan Produksi Dalam Rangka Penanaman Modal yang menetapkan bahwa “Perusahaan asing tidak di izinkan menjual produknya kepada konsumen dan untuk itu harus bekerja sama dengan perusahaan nasional selaku distributor”.
Adanya ketentuan tersebut dianggap sebagai tindakan pembatasan (Business Restriction) yang bertentangan dengan Trade Related Investment Measures (TRIMS) sebagai salah satu agenda WTO. Adanya ketentuan tersebut disikapi oleh investor asing dengan jalan mengalihkan aktivitasnya dalam bentuk ‘indirect investment’, misalnya, dengan cara membuat perjanjian lisensi.
b. Indirect
Investment : Perjanjian Lisensi Paten
UU No. 14/2001 menetapkann bahwa : “Paten adalah hak eklusif yang diberikan oleh negara kepada investor (penemu) atas hasil invensi (penemuannya) dibidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya”. (Pasal 1 Angka 1). Invensi (penemuan) adalah ide inventor (penemu) yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik dibidang teknologi dapat berupa produk atau proses atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses (Pasal 1 Angka 2).
Berdasarkan ketentuan tersebut, hakekat paten adalah suatu hak ‘monopoli’ yang diberikan negara kepada investor sebagai reward atau incentive baginya atas pengungkapan invensi tersebut kepada masyarakat (pada saat pengumuman) melalui patent description / spesification. Tujuannya adalah agar masyarakat memperoleh pengetahuan baru dalam mendorong masyarakat untuk melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan. Sebaliknya bagi bagi inventor, paten memberikan hak ekonomis untuk mengeksploitasi penemuannya, antara lain, melalui perjanjian lisensi dengan imbalan royalty. Disamping itu inventor memiliki hak moral agar namanya selaku inventor tetap di cantumkan dalam sertifikat paten, meski patennya telah dialihkan kepada pihak lain, misalnya perusahaan sebagai pemegang paten. Dan kondisi ini askan memacu proses industrialisasi suatu negara.
substantif / materiil
agar suatu teknologi dapat dipatenkan adalah
1.
novelty (kebaruan)
2.
Inventive
step (langkah inventif)
3.
Industrially
applicable (dapat diterapkan
dalam industri)
Suatu teknologi dianggap baru jika teknologi tersebut tidak sama dengan ‘prior art’ (teknologi paling mutakhir saat itu yang menjadi pembanding). ‘Prior art’ dalam bahasa undang-undang disebut “teknologi yag telah diungkapkan atau diumumkan sebelumnya”. Dalam hal ini pengumuman dimaksudkan dapat berupa suatu tulisan; uraian lisan atau melalui peragaan atau cara-cara lain yang mengakibatkan seorang ahli (meniru) melaksanakan invensi yang sama. Ukuran kebaruan juga didasarkan pada jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan setelah adanya invensi harus segera didaftarkan, jika tidak maka nilainoveltynya akan gugur.
Suatu invensi dianggap mengandung langkah infentif. Jika invensi tersebut bagi seseorang yang memiliki keahlian tertentu di bidang teknik bersifat ‘non obvious’ (tidak dapat diduga sebelumnya). Invensi dapat diterapkan dalam industri jika invensi dapat dilaksanakan sesuai uraian dalam permohoman.
Selain ketiga syarat tersebut diatas yang sifatnya ‘world wide’, untuk permintaan paten di Indonesia harus memperhatikan Pasal 7 UU No. 14/2001 bahwa paten tidak dapat diberikan untuk invensi tentang :
1.
Proses atau produk yang
pengumuman dan penggunaan atau pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, ketertiban umum atau
kesusialaan.
2.
Metode pemeriksaan,
perawatan, pengobatan dan atau pembedahan yang diterapkan terhadap terhadap
manusia dan atau hewan.
3.
Teori dari metode di
bidang ilmu pengetahuan dan matematika, atau
4.
i. Semua makhluk
hidup kecuali jasad renik
Pasal 7 ini terkandung muatan aksiologi yang dalam sebagai pertimbangan kebijakan pemberian paten. Hukum dalam hal ini tidak hanya sekedar memberikan hak monopoli tanpa batas, namun ada norma-norma tertentu yang harus ditaati. Sebagai contoh jika tidak ada ketentuan Pasal 7 butir (a) dapat dibayangkan bagaimana ekses yang ditimbulkan, perkembangan teknologi akan semakin meningkatkan sifat materialisme manusia; jika ketentuan dalam huruf (b) tidak ada, maka biaya perolehan teknologi yang sangat besar akan meningkatkan biaya pelayanan kesehatan selain hal tersebut diatas sebenarnya UU paten ini juga harus disinkronkan dengan aturan mengenai ‘Bio diversity’ dan aspek sumber daya lainnya.
Pada prinsipnya “Pemegang paten wajib membuat produk atau menggunakan proses yang diberi paten di Indonesia, kecuali jika hal itu hanya layak dilakukan secara regional, asalkan disertai permohonan tertulis kepada yang berwenang (Pasal 17). Ketentuan ini dimaksudkan agar terjadi alih teknologi (lebih-lebih jika pemegang paten adalah inventor asing).
Perjanjian lisensi merupakan hal yang krusial untuk dikaji. Kata lisensi (Licence) pada dasarnya meliputi : a) lisensi sukarela (valuntary licensing) dan (b) lisensi wajib (Compulsory licensing). Lisensi diartikan sebagai : “a personal prevelege to do some particular act … and is ordonary receable at the will of lecensor and is not assignable”.
Dalam pasal 71 UU No. 14 / 2001 dinyatakan bahwa perjanjian lisensi dilarang (a) memuat ketentuan yang baik langsung maupun tidak langsung dapat merugikan perekonomian Indonesia atau (b) memuat pembatasan-pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya dan yang berkaitan dengan inovasi yang diberi paten pada khususnya. Termasuk dalam perbuatan yang dilarang oleh Pasal 71 ini antara lain : (a) tie-in restriction(b) restrictive business practices (rbp) dan (c) grant back provison). Perbuatan yang mewajibkan lisensi untuk membeli bahan baku pada pihak yang ditunjuk licensor dengan dalih menjaga kualitas produk adalah tie-in restriction. Klausula -klausula rbp ada pada price restriction; teritorial restriction; field of use and customer restriction; output restriction; packaging licensing. Sedangkan lisensi yang mengandung grant back provision adalah memuat ketentuan bahwa :” setiap perbaikan, inovasi atau pengembangan terhadap invensi yang dilisensikan oleh licensee memberikan hak bagi licensor untuk menggunakan invensi tersebut”.
Lebih lanjut dalam Pasal 72 ditetapkan: ”Setiap perjanjian lisensi harus dicatat dan diumumkan dengan dikenai biaya. Dalam hal perjanjian lisensi tidak dicatat di Dirjen HKI, tidak mempunyai akibat hukum bagi pihak ketiga”. Pencatatan perjanjian lisensi adalah wujud campur tangan yang diperkenankan dalam Pasal 40 Persetujuan TRIPs guna melindungi posisi licensee yang umumnya ditengarai memiliki posisi yang lemah. Ketentuan ini mencegah penyalahgunaan hak paten oleh licensor ( terlebih foreign licensor) dan kesemua itu untuk kontribusi perekonomian nasional. Selain itu pencatatan berfungsi untuk mengetahui jumlah dan bentuk invensi yang telah di lisensikan agar dapat diproyeksikan oleh teknologi masa depan
Selain lisensi sukarela, masalah alih teknologi dapat juga melalui perjanjian lisensi wajib yang tertuang dalam Pasal 74 sampai dengan 87 UU No. 14 / 2001. Alasan lisensi wajib ada 2 (dua) :
1.
Jika paten atas suatu
invensi tidak dilaksanakan atau dilaksanakan tidak sepenuhnya di Indonesia oleh
pemegang paten dalam waktu 36 (tiga puluh enam bulan) terhitung sejak tanggal
pemberian paten (Pasal 75)
2.
Jika sewaktu-waktu
ternyata pelaksanaan paten suatu pihak ternyata tidak mungkin dapat dilakukan
tanpa melanggar paten lain yang telah ada.
Alasannya :
(a) terkait dengan ketentuan kewajiban pelaksanaan paten di Indonesia sebagaimana diatur pada Pasal 17 tersebut diatas.
(b) Memungkinkan terjadinya cross licensing yang saling menguntungkan antara pemilik paten dengan penerima lisensi wajib. Permohonan lisensi wajib diajukan kepada Dirjen HKI disertai bukti :
1.
pemohon mempunyai
kemampuan untuk melaksanakan sendiri patennya secara penuh
2.
mempunyai fasilitas
untuk melaksanakan paten tersebut
3.
telah mengambil
langkah-langkah dalam jangka waktu yang cukup untuk mendapat lisensi (sukarela)
dari pemegang paten atas dasar persyaratan dengan kondisi yang wajar tetapi
tidak memperoleh hasil. Lisensi wajib akan diberikan jika paten tersebut dapat
dilaksanakan dalam skala yang layak dan memberikan manfaat kepada sebagian
besar masyarakat.
Cara Alih Tehnologi
Alih teknologi dari suatu negara kenegara
lain, umumnya dari negara maju berkembang dapat dilakukan dengan berbagai cara
tergantung pada macamnya bantuan teknologi yang dibutuhkan untuk suatu proyek.
Teknologi dapat dipindahkan melalui cara sebagai berikut.
- Memperkerjakan tenaga-tenaga ahli aging perorangan. Dengan cara ini negara berkembang bisa dengan mudah mendapatkan teknologi, yang berupa teknik dan proses manufacturing yang tidak dipatenkan. Cara ini hanya cocok untuk industri kecil dan menengah.
- Menyelenggarakan suplai dari mesin-mesin dan alat equipment lainnya. Suplai ini dapat dilakukan dengan kontrak tersendiri.
- Perjanjian lisensi dalam teknologi sipemilik teknologi dapat memudahkan teknologi dengan memeberikan hak kepada setiap orang/badan untuk melaksanakan teknologi dengan suatu lisensi.
4. Expertisi dan bantuan, teknologi. Keahlian dan
bantuan dapat berupa:
o Studi pre-investasi.
o Basic pre-ingeenering.
o Spesifikasi masin-mesin.
o Pemasangan dan menja1ankan mesin-mesin.
o Manajemen.
Kebijaksanaan pemerintah menerbitkan UU
NO. 1/1967 tentang PMA merupakan langkah awal bagi Indonesia untuk melakukan
kerjasama dengan pihak asing yang termasuk didalamnya pengalihan teknologi.
Alih tehnologi pada kenyataannya harus dibeli dengan harga tinggi. Teknologi
pada hakekatnya telah menjadi komoditi yang mahal dan langka karena banyak
diminta keadaan tersebut makin tertampilkan karena alih teknologi PMA selalu
dikaitkan dengan bidang yang menjadi otoritas IPR (Intelektual Property Right).
IPR telah larut dalam tahap pemilihan teknologi yang digunakan, pada tahap
produksi dan begitu pula pada saat produk dipasarkan. Bahkan disinyalir IPR
telah menjadi komoditi dagang itu sendiri.
Kita dapat melihat bahwa
alih teknologi bukan merupakan hal yang mudah dan murah tapi sesuatu yang
mahal. Membutuhkan perhitungan yang matang dalam kerangka memajukan teknologi
dalam era globalisasi. Indonesia dalam menghadapi era globalisasi mau tidak mau
harus berani menerapkan perjanjian alih teknologi dalam kerangka menghindarkan
ketertinggalan dengan negara lain pada era globalisasi. Penciptaan hukum perlu
diciptakan kaedah hukum baru di Indonesia. Dalam penciptaan hukum tersebut
terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan :
1. Masaalah yang bersifat teknis yuridis.
2. Masaalah substansi aturan hukum yang akan diciptakan.
3. Masaalah arah politik hukum nasional.
ad.1. Masalah teknis yuridis, menyangkut hal-hal yang berupa tata
cara dalam pembentukan, pengundangan dan pemberlakuan aturan hukum.
ad.2. Masaalah substansi aturan hukum berfokus dan berpersoalan
materi yang menjadi muatan aturan yang akan diciptakan.
ad.3. Pembentukan aturan hukum bersandar pada kebijaksanaan
Nasional yang lazim dituangkan keberbagai peraturan perundangan peraturan yang
lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi
peringkatnya .
Globalisasi akan merupakan peluang bila
mana kita siap dan dapat memanpaatkannya dengan baik serta berusaha mengatasi
bahaya-bahayanya bagi kehidupan nasional. Sebaiknya akan menimbulkan musabab
apabila kita tidak siap dengan global vision dan hanyut bersama sisi-sisi
berbahaya bagi kehidupan nasional tersebut antara lain adalah saling
ketergantungan antara bangsa semakin meningkat berlakunya standar-standar baku
antara nasional diberbagai kehidupan kecenderungan melemahnya ikatan-ikatan
etponosentrik dan ikatan-ikatan nasional, dominasi modal asing dan peran serta
yang paling kuat, berkembangnya konsep kesejahteraan regional dan global serta
perobahan sosial yang sangat cepat (pandangan lotge) untuk itu perlu
diperhatikan pengembangan peraturan akhir teknologi dengan memperhatikan
peringkat hukum nasional, regional dan internasional.
Penerapan peraturan,tersebut sangat
penting artinya dalam usaha memajukan produksi negara berkembang yang akan di
pasarkan kepasar regional dan global untuk itu maka Indonesia harus segera
menerapkan ahli teknologi dalam bidang penerimaan modal asing, paten dan merek.
Lisensi merupakan cara untuk ahli teknologi perjanjian lisensi merupakan
perjanjian antara pemilik teknologi dengan negara berkembang dalam memproduksi
suatu produk.
contoh kasus :
KSAL: Alih Teknologi Perlu, Ekstremnya dengan 'Nyolong'
Maket LST rancangan PT. Kodja. (Foto: Berita HanKam)
25 Januari 2011, Jakarta -- (TEMPO Interaktif): Kepala Staf TNI AL, Laksamana TNI Soeparno menekankan pentingnya dilakukan alih teknologi pembuatan alat utama sistem persenjataan (alutsista), khususnya di kalangan TNI AL. Pengadaan alutsista akan difokuskan dari hasil produksi dalam negeri.
"Yang sudah bisa kita buat sendiri (dalam negeri-red), pasti kita beli. Kalau setengah-setengah, ya kita join. Setengah dari luar (negeri), setengah dari dalam," kata Soeparno dalam jumpa pers usai membuka Rapat Pimpinan TNI AL 2011 di Markas Besar TNI, Cilangkap, Selasa 25 Januari 2011.
Jika pembelian alutsista produksi dalam negeri masih belum bisa diwujudkan lantaran teknologinya masih belum memadai, lanjutnya, maka TNI terpaksa memilih teknologi dari luar. "Namun ada embel-embelnya, yaitu transfer of technology. Jadi pelan tapi pasti, teknologi itu kita ambil dengan cara bermacam-macam," ujarnya.
Di antaranya, dengan cara mengirimkan tenaga ahli TNI ke luar negeri, atau sebaliknya mendatangkan tenaga ahli dari luar negeri untuk mengerjakan alutsista di Indonesia. Soeparno menilai, alih teknologi tidak akan maksimal jika hanya dilakukan dengan cara normal.
"Ya harus dengan macam-macam cara. Ekstremnya dengan nyolong juga. Maksudnya nyolong teknologi," kata dia. "Karena kalau yang resmi-resmi, yang penting-penting, yang harganya mahal, (teknologi) itu tidak dikasih ke kita."
Hingga tahun 2024 mendatang, TNI AL akan konsisten menuju pemenuhan kekuatan pokok minimal (Minimum Essential Force) TNI. Arah kebijakan TNI AL tidak akan berubah walaupun pejabat-pejabat yang ada di dalamnya berganti.
sumber :