Selasa, 23 April 2013

TUGAS 3 HUKUM PERBURUHAN


Desain industri

Desain industri  adalah seni terapan di mana estetika dan usability (kemudahan dalam menggunakan suatu barang) suatu barang disempurnakan. Desain industri menghasilkan kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna atau garis dan warna atau gabungannya, yang berbentuk 3 atau 2 dimensi, yang memberi kesan estetis, dapat dipakai untuk menghasilkan produk, barang, komoditas industri atau kerajinan tangan. Sebuah karya desain dianggap sebagai kekayaan intelektual karena merupakan hasil buah pikiran dan kreatifitas dari pendesainnya, sehingga dilindungi hak ciptanya oleh pemerintah melalui Undang-Undang No. 31 tahun 2000 tentang Desain Industri. Kriteria desain industri adalah baru dan tidak melanggar agama, peraturan perundangan, susila, dan ketertiban umum. Jangka waktu perlindungan untuk desain industri adalah 10 tahun terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan Desain Industri ke Kantor Ditjen Hak Kekayaan Intelektual.
Desain Industri adalah cabang HKI yang melindungi penampakan luar suatu produk. Sebelum perjanjian TRIPS lahir, desain industri dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta. Namun karena perkembangan desain yang sangat pesat, maka perlu dibuatkan UU Khusus yang mengatur tentang desain industri.

Sejarah Pengaturan Desain Industri

Pengaturan tentang Desain Industri dikenal pada abad ke-18 terutama di Inggris karena adanya Revolusi Industri. Desain Industri awalnya berkembang pada sektor tekstil dan kerajinan tangan yang dibuat secara massal. UU pertama yang mengatur mengenai Desain Industri adalah "The designing and printing of linens, cotton, calicoes and muslin act" sekitar tahun 1787. Pada saat ini Desain Industri hanya dalam bentuk 2 Dimensi. Sedangkan Desain Industri dalam bentuk 3 (tiga) Dimensi mulai diatur melalui Sculpture Copyright Act 1798 pengaturannya masih sederhana hanya meliputi model manusia dan binatang. Lalu pada tanggal 20 Maret 1883 The Paris Convention for the Protection of Industrial Property (Paris Convention). Amanat pada pasal 5 Paris Convention menyatakan bahwa Desain Industri harus dilindungi di semua negara anggota Paris Convention.

Estetika Versus Fungsionalitas


Perlindungan desain memberikan hak monopoli kepada pemilik desain atas bentuk, konfigurasi, pola atau ornamentasi tertentu dari sebuah desain. Dengan demikian, hukum desain hanya melindungi penampilan bentuk terluar dari suatu produk. Undang-Undang Desain Industri tidak melindungi aspek fungsional dari sebuah desain, seperti cara pembuatan produk, cara kerja, atau aspek keselamatannya. Pembuatan, pengoperasian dan ciri-ciri barang tertentu dilindungi oleh hukum paten.

Syarat-Syarat Perlindungan Desain

Hak Desain Industri diberikan untuk desain industri yang baru, Desain Industri dianggap baru apabila pada tanggal penerimaan, desain industri tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya, meskipun terdapat kemiripan. Pengungkapan sebelumnya, sebagaimana dimaksud adalah pengungkapan desain industri yang sebelum :

  1.     Tanggal penerimaan; atau
  2.     Tanggal prioritas apabila permohonan diajukan dengan hak prioritas.
  3.     Telah diumumkan atau digunakan di Indonesia atau luar Indonesia.
Suatu Desain Industri tidak dianggap telah diumumkan apabila dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sebelum tanggal penerimaannya, desain industri tersebut :

  1.    Telah dipertunjukkan dalam suatu pameran nasional ataupun internasional di Indonesia atau di luar negeri yang resmi atau diakui sebagai resmi; atau
  2.   Telah digunakan di Indonesia oleh pendesain dalam rangka percobaan dengan tujuan pendidikan, penelitian, atau pengembangan. Selain itu, Desain Industri tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum, agama, atau kesusilaan.
Sistem Konstitutif dalam Perlindungan Desain Industri

Perlindungan Desain Industri menganut sistem First to File Principle. Desain Industri dari suatu produk yang dimiliki tidak akan mendapatkan perlindungan hukum apabila tidak terdaftar.

Lingkup Hak Desain Industri

Pemegang Hak Desain Industri memiliki hak eklusif untuk melaksanakan Hak Desain Industri yang dimilikinya dan untuk melarang orang lain yang tanpa persetujuannya membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor, dan/atau mengedarkan barang yang diberi hak desain industri.

Subjek dari Hak Desain Industri

  •    Yang berhak memperoleh hak desain industry adalah pendesain atau yang menerima hak tersebut dari pendesain. 
  •    Pendesain terdiri dari atas beberapa orang secara bersama, hak desain industry diberikan kepada mereka secara bersama, kecuali jika diperjanjikan lain.
  •   Jika suatu desain Industri dibuat dalam hubungan dinas dengan pihak lain dalam lingkungan pekerjaannya, atau yang dibuat orang lain berdasarkan pesanan, pemegang hak desain industri adalah pihak yang untuk dan/atau dalam dinasnya desain industri itu dikerjakan, kecuali ada perjanjian lain antara kedua pihak dengan tidak mengurangi hak pendesain apabila penggunaan desain industri itu diperluas sampai keluar hubungan dinas. 
  •    Jika suatu desain industri dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan pesanan, orang yang membuat desain industri itu dianggap sebagai pendesain dan pemegang hak desain industri, kecuali jika diperjanjikan lain antara kedua pihak.
Pengalihan Hak dan Lisensi Desain Industri

Hak Desain Industri dapat beralih atau dialihkan dengan cara pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis, atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Pengalihan hak desain industri tersebut harus disertai dengan dokumen tentang pengalihan hak dan wajib dicatat dalam daftar umum desain industri pada Ditjen HKI dengan membayar biaya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pengalihan hak desain industri yang tidak dicatatkan dalam daftar umum desain industri tidak berakibat hukum pada pihak ketiga. Pengalihan hak desain industri tersebut akan diumumkan dalam berita resmi desain industri.

Lisensi Hak Desain Industri

Pemegang Hak Desain Industri dapat memberikan lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian lisensi dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu untuk melaksanakan hak desain industri dan untuk melarang orang lain yang tanpa persetujuannya membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor dan/atau mengedarkan barang yang di dalamnya terdapat seluruh atau sebagaian desain yang telah diberi hak desain industri, kecuali jika diperjanjikan lain. Perjanjian lisensi ini dapat bersifat ekslusif atau non ekslusif. Perjanjian lisensi wajib dicatatkan dalam daftar umum desain industri pada Ditjen HKI dengan dikenai biaya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Perjanjian lisensi ini kemudian diumumkan dalam berita resmi desain industri. Perjanjian lisensi yang tidak dicatatkan tidak berlaku terhadap pihak ketiga.

Bentuk dan Isi Perjanjian Lisensi

Pada dasarnya bentuk dan isi perjanjian lisensi ditentukan sendiri oleh para pihak berdasarkan kesepakatan bersama, namun tidak boleh memuat ketentuan yang melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti ketentuan yang dapat menimbulkan akibat yang merugikan bagi perekonomian Indonesia atau memuat ketentuan yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.

Sejarah Waralaba

Waralaba diperkenalkan pertama kali pada tahun 1850-an oleh Isaac Singer, pembuat mesin jahit Singer, ketika ingin meningkatkan distribusi penjualan mesin jahitnya. Walaupun usahanya tersebut gagal, namun dialah yang pertama kali memperkenalkan format bisnis waralaba ini di AS. Kemudian, caranya ini diikuti oleh pewaralaba lain yang lebih sukses, John S Pemberton, pendiri Coca Cola. Namun, menurut sumber lain, yang mengikuti Singer kemudian bukanlah Coca Cola, melainkan sebuah industri otomotif AS, General Motors Industry ditahun 1898. Contoh lain di AS ialah sebuah sistem telegraf, yang telah dioperasikan oleh berbagai perusahaan jalan kereta api, tetapi dikendalikan oleh Western Union serta persetujuan eksklusif antar pabrikan mobil dengan penjual.

Dalam perkembangannya, sistem bisnis ini mengalami berbagai penyempurnaan terutama di tahun l950-an yang kemudian dikenal menjadi waralaba sebagai format bisnis (business format) atau sering pula disebut sebagai waralaba generasi kedua. Perkembangan sistem waralaba yang demikian pesat terutama di negara asalnya, AS, menyebabkan waralaba digemari sebagai suatu sistem bisnis diberbagai bidang usaha, mencapai 35 persen dari keseluruhan usaha ritel yang ada di AS. Sedangkan di Inggris, berkembangnya waralaba dirintis oleh J. Lyons melalui usahanya Wimpy and Golden Egg, pada tahun 60-an. Bisnis waralaba tidak mengenal diskriminasi. Pemilik waralaba (franchisor) dalam menyeleksi calon mitra usahanya berpedoman pada keuntungan bersama, tidak berdasarkan SARA. Kategori waralaba berbeda-beda antara lain : franchise dalam bentuk makanan, pendidikan dan lain-lain. salah satu bentuk nya adalah  dan masih banyak lagi franchise yang berkembang di Indonesia ini.

Waralaba

Waralaba (Inggris: Franchising;Prancis: Franchise) untuk kejujuran atau kebebasan) adalah hak-hak untuk menjual suatu produk atau jasa maupun layanan. Sedangkan menurut versi pemerintah Indonesia, yang dimaksud dengan waralaba adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak memanfaatkan dan atau menggunakan hak dari kekayaan intelektual (HAKI) atau pertemuan dari ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan oleh pihak lain tersebut dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang dan jasa. Sedangkan menurut Asosiasi Franchise Indonesia, yang dimaksud dengan Waralaba ialah:


Suatu sistem pendistribusian barang atau jasa kepada pelanggan akhir, dimana pemilik merek (franchisor) memberikan hak kepada individu atau perusahaan untuk melaksanakan bisnis dengan merek, nama, sistem, prosedur dan cara-cara yang telah ditetapkan sebelumnya dalam franchisor dan franchisee. Selain pengertian waralaba, perlu dijelaskan pula apa yang dimaksud dengan franchisor dan franchisee.
  •       Franchisor atau pemberi waralaba, adalah badan usaha atau perorangan yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimilikinya.
  •     Franchisee atau penerima waralaba, adalah badan usaha atau perorangan yang diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas yang dimiliki pemberi waralaba.
Jenis waralaba

Waralaba dapat dibagi menjadi dua:

  •      Waralaba luar negeri, cenderung lebih disukai karena sistemnya lebih jelas, merek sudah diterima diberbagai dunia, dan dirasakan lebih bergengsi.
  •      Waralaba dalam negeri, juga menjadi salah satu pilihan investasi untuk orang-orang yang ingin cepat menjadi pengusaha tetapi tidak memiliki pengetahuan cukup piranti awal dan kelanjutan usaha ini yang disediakan oleh pemilik waralaba.
Biaya waralaba

Biaya waralaba meliputi:

  •      Ongkos awal, dimulai dari Rp. 10 juta hingga Rp. 1 miliar. Biaya ini meliputi pengeluaran yang dikeluarkan oleh pemilik waralaba untuk membuat tempat usaha sesuai dengan spesifikasi franchisor dan ongkos penggunaan HAKI.
  •    Ongkos royalti, dibayarkan pemegang waralaba setiap bulan dari laba operasional. Besarnya ongkos royalti berkisar dari 5-15 persen dari penghasilan kotor. Ongkos royalti yang layak adalah 10 persen. Lebih dari 10 persen biasanya adalah biaya yang dikeluarkan untuk pemasaran yang perlu dipertanggungjawabkan.
Waralaba di Indonesia

Di Indonesia, sistem waralaba mulai dikenal pada tahun 1950-an, yaitu dengan munculnya dealer kendaraan bermotor melalui pembelian lisensi. Perkembangan kedua dimulai pada tahun 1970-an, yaitu dengan dimulainya sistem pembelian lisensi plus, yaitu franchisee tidak sekedar menjadi penyalur, namun juga memiliki hak untuk memproduksi produknya. Agar waralaba dapat berkembang dengan pesat, maka persyaratan utama yang harus dimiliki satu teritori adalah kepastian hukum yang mengikat baik bagi franchisor maupun franchisee. Karenanya, kita dapat melihat bahwa di negara yang memiliki kepastian hukum yang jelas, waralaba berkembang pesat, misalnya di AS dan Jepang. Tonggak kepastian hukum akan format waralaba di Indonesia dimulai pada tanggal 18 Juni 1997, yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba. PP No. 16 tahun 1997 tentang waralaba ini telah dicabut dan diganti dengan PP no 42 tahun 2007 tentang Waralaba. Selanjutnya ketentuan-ketentuan lain yang mendukung kepastian hukum dalam format bisnis waralaba adalah sebagai berikut:

  •      Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 259/MPP/KEP/7/1997 Tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba.
  •      Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba
  •      Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten.
  •      Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.
  •      Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang.
Banyak orang masih skeptis dengan kepastian hukum terutama dalam bidang waralaba di Indonesia. Namun saat ini kepastian hukum untuk berusaha dengan format bisnis waralaba jauh lebih baik dari sebelum tahun 1997. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya payung hukum yang dapat melindungi bisnis waralaba tersebut. Perkembangan waralaba di Indonesia, khususnya di bidang rumah makan siap saji sangat pesat. Hal ini ini dimungkinkan karena para pengusaha kita yang berkedudukan sebagai penerima waralaba (franchisee) diwajibkan mengembangkan bisnisnya melalui master franchise yang diterimanya dengan cara mencari atau menunjuk penerima waralaba lanjutan. Dengan mempergunakan sistem piramida atau sistem sel, suatu jaringan format bisnis waralaba akan terus berekspansi. Ada beberapa asosiasi waralaba di Indonesia antara lain APWINDO (Asosiasi Pengusaha Waralaba Indonesia), WALI (Waralaba & License Indonesia), AFI (Asosiasi Franchise Indonesia). Ada beberapa konsultan waralaba di Indonesia antara lain IFBM, The Bridge, Hans Consulting, FT Consulting, Ben WarG Consulting, JSI dan lain-lain. Ada beberapa pameran Waralaba di Indonesia yang secara berkala mengadakan roadshow diberbagai daerah dan jangkauannya nasional antara lain International Franchise and Business Concept Expo (Dyandra),Franchise License Expo Indonesia ( Panorama convex), Info Franchise Expo ( Neo dan Majalah Franchise Indonesia).

Tingkat pengembalian

Tingkat pengembalian yang layak dari sebuah waralaba adalah minimum 15 persen dari nilai.

  • PERATURAN MENTERI NO.31 2008 TENTANG WARALABA
  • PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 31/M-DAG/PER/8/2008

Desain Tata Letak Sirkuit

Akhir tahun 2000, disahkan tiga UU baru dibidang HKI yaitu : (1) UU No. 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, UU No. 31 tahun 2000 tentang Desain Industri, dan UU No. 32 tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.

DEFINISI

Sirkuit Terpadu adalah suatu produk dalam bentuk jadi atau setengah jadi, yang di dalamnya terdapat berbagai elemen dan sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, yang sebagian atau seluruhnya saling berkaitan serta dibentuk secara terpadu di dalam sebuah bahan semikonduktor yang dimaksudkan untuk menghasilkan fungsi elektronik

Desain Tata Letak adalah kreasi berupa rancangan peletakan tiga dimensi dari berbagai elemen, sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, serta sebagian atau semua interkoneksi dalam suatu Sirkuit Terpadu dan peletakan tiga dimensi tersebut dimaksudkan untuk persiapan pembuatan Sirkuit Terpadu. Dalam ranah Hukum Kekayaan Intelektual terhadap DTLST ini ada beberapa istilah atau pengertian yang perlu diketahui, yaitu;

Pendesain adalah seorang atau beberapa orang yang menghasilkan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.

Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara Republik Indonesia kepada Pendesain atas hasil kreasinya, untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut.

Pemegang Hak adalah Pemegang Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, yaitu Pendesain atau penerima hak dari Pendesain yang terdaftar dalam Daftar Umum Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.

Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Hak kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu yang diberi perlindungan dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu.

DTLST YANG MENDAPAT PERLINDUNGAN (KRITERIA)
  • Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu diberikan untuk Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu yang orisinal.
  • Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dinyatakan orisinal apabila desain tersebut merupakan hasil karya mandiri Pendesain, dan pada saat Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu tersebut dibuat tidak merupakan sesuatu yang umum bagi para Pendesain
  • Tentu saja, Desain Industri harus terdaftar pada DITJEN HKI untuk memperoleh perlindungan. 

DTLST YANG TIDAK MENDAPAT PERLINDUNGAN

Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu tidak dapat diberikan jika Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum, agama, atau kesusilaan

JANGKA WAKTU PERLINDUNGAN DTLST

Perlindungan terhadap Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu diberikan kepada Pemegang Hak sejak pertama kali desain tersebut dieksploitasi secara komersial di mana pun, atau sejak Tanggal Penerimaan selama sepuluh (10) tahun dan tidak dapat diperpanjang.

SUBJEK DTLST

Orang yang berhak terhadap DTLST adalah sebagai berikut:
  • Yang berhak memperoleh Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu adalah Pendesain atau yang menerima hak tersebut dari Pendesain.
  • Dalam hal Pendesain terdiri atas beberapa orang secara bersama, Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu diberikan kepada mereka secara bersama, kecuali jika diperjanjikan lain.
  • Jika suatu Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dibuat dalam hubungan dinas dengan pihak lain dalam lingkungan pekerjaannya, Pemegang Hak adalah pihak yang untuk dan/atau dalam dinasnya Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu itu dikerjakan, kecuali ada perjanjian lain antara kedua pihak dengan tidak mengurangi hak Pendesain apabila penggunaan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu itu diperluas sampai keluar hubungan dinas.
  • Jika suatu Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan pesanan, orang yang membuat Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu itu dianggap sebagai Pendesain dan Pemegang Hak, kecuali jika diperjanjikan lain antara kedua pihak.
  • Pendesain tetap memiliki Hak untuk dicantumkan namanya dalam Sertifikat Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Daftar Umum Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dan Berita Resmi Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
LINGKUP HAK

Pemegang Hak memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu yang dimilikinya dan untuk melarang orang lain yang tanpa persetujuannya membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor dan/atau mengedarkan barang yang di dalamnya terdapat seluruh atau sebagian Desain yang telah diberi Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Namun, dikecualikan pada pemakaian Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu untuk kepentingan penelitian dan pendidikan sepanjang tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pemegang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu







Selasa, 16 April 2013

TUGAS 2 HUKUM PERBURUHAN


Definisi Alih Teknologi :
Pengalihan kemampuan memanfaatkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi antar lembaga, badan, atau orang, baik yang berada dilingkungan dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri ke dalam negeri dan sebaliknya.


Istilah alih teknologi 
(transfer of technology) didefinisikan United Nation Centre on Transnational Corporation (UNTC):


UNCTC mempergunakan istilah teknologi dalam dua pengertian yaitu dalam pengertian sempit dan dalam pengertian luas. Dalam arti sempit, teknologi adalah “ technical knowledge or know-how that is knowledge related to the methods and techniques of production of goods and services.”Sedangkan istilah  teknologi diartikan oleh UNCTAD sebagai:
Technology is an essential input of production, and as such it is bought and sold in the world market as a commodity embodied in one of the following forms (i) in capital goods and sometimes intermediary goods which are bought and sold in markets, particulary in connection with investment decision; (ii) in human labour usually qualified and sometimes highly qualified and specialized manpower, with capacity to make correct use of the equipments and techniques and to master a problem solving and information producing apparats; (iii) in information, whether of a technical or commercial nature, which is provided in market, or kept secret as part of monopolistic practice.

Hukum adalah bagian dari teknologi karena teknologi terkait dengan masalah  konstitusi dan fungsinya sebagai legal structure yang fundamental. Didalam konstitusi suatu negara tercakup berbagai pertimbangan dan keputusan manusia yang berposisi sebagai teknokat, birokrat dan politikus. Hukum menentukan teknologi canggih, teknologi menengah atau teknologi merakyat

Peranan Hukum Dalam Alih Teknologi

Teknologi jika dikaitkan dengan ilmu pengetahuan mencakup (a)Produk ;  (b)Proses dan (c) Paradigma Etika. Teknologi sebagai ‘The application of science’ berinduk pada ilmu pengetahuan (science) yang merupakan ‘the enlarging international pool of knowledge equally valid every where Ilmu pengetahuan semula berawal dari pengetahuan (knowledge) yang lambat laun menjadi disiplin ilmu yang mandiri manakala cabang-cabang ilmu melepaskan diri dari ‘batang’ filsafatnya dan berkembang sesuai metodologinya.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 diletakkan dasar dan arah pembangunan ekonomi yang tentu didalamnya tercakup masalah alih teknologi. Dalam Pasal 33 ditetapkan bahwa : “Perekonomian Indonesia di susun oleh … Cabang-cabang produksi …Bumi, air dan kekayaan alam…dipergunakan sebesar-sebesar kemakmuran rakyat”. Pembangunan ekonomi dimaksudkan untuk mencapai Tujuan Nasional, disadari bahwa bangsa Indonesia memiliki kekurangan dari segi modal, keahlian dan teknologi. Untuk itu diperlukan serangkaian kebijakan dan aturan yang dapat memenuhi kebutuhan itu, antara lain, melalui kebijakan alih teknologi.

Kebijakan alih teknologi diletakkan oleh UU No. 1/1967 Tentang Penanaman Modal Asing..Dalam Pasal 2 UU No. 1/1976 dinyatakan bahwa “…modal asing meliputi … penemuan-penemuan milik orang asing …”. Lebih lanjut dalam Pasal 12 UU No. 1/1976 ditetapkan : “Perusahaan-perusahaan modal asing wajib menyediakan fasilitas dan pendidikan … bagi warga negara Indonesia”. Tujuan ketentuan ini agar berangsur-angsur tenaga kerja asing dapat digantikan oleh tenaga kerja Indonesia.

Komitmen awal Pemerintah mengundang investor asing melalui UU No. 1/1967 bahwa modal asing tersebut akan dijadikan pelengkap dalam pembiayaan pembangunan, disamping pajak,tabungan masyarakat (public saving) dan lain-lain. Hal ini tercermin dalam asas-asas yang terdapat dalam UU tersebut antara lain : (a) asas manfaat yang sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat, (b) asas ketidak-tergantungan dan (c) asas jaminan dan insentif

Setahun berikutnya diundangkan UU No. 6/1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Pasal 1 UU No. 6/1968 menetapkan : “Modal dalam negeri ialah bagian dari kekayaan masyarakat Indonesia, termasuk hak-hak benda-benda, baik yang dimiliki negara… swasta asing …” Pasal 3  menetapkan “Perusahaan nasional adalah perusahaan yang sekurang-kurangnya 51% modal dalam negeri …, perusahaan PMDN juga dimungkinkan terdapat unsur mitra asing, walaupun tidak dalam posisi mayoritas”.

Selanjutnya dengan tercapainya kesepakatan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement on Establishing the World Trade Organization – WTO) yang telah disahkan melaluiUU No. 7/1994,maka Indonesia berkewajiban menyempurnakan seluruh peraturan perundang-undangannya dengan WTO.Di bidang investasi, ketentuan Trade Related Investment Measures menjadi tolok ukurnya.

Selain UU No. 1/1967 dan UU No. 6/1968, masalah teknologi dan pengalihannya ditetapkan dalam undang-undang Paten. Pengaturan paten di Indonesia diawali dengan 
OctrooiWet 1912. Namun sebagai undang-undang produk Belanda, terdapat kebijakan yang tidak menguntungkan bagi Indonesia bahwa pendaftaran paten di Indonesia (Hindia Belanda) harus diteruskan ke Negeri Belanda untuk perolehan haknya. Tentu saja pengaturan ini dirasakan bertentangan dengan prinsip kedaulatan negara. Oleh karena itu sambil menunggu undang-undang Paten nasional terbentuk, dikeluarkan pengumuman Menteri Kehakiman No. J-S-5/41/4 tanggal 12 Agustus 1953 yang dimuat dalam Berita Negara No. 65 tanggal 28 Agustus 1953 dan Pengumuman Menteri Kehakiman No. J-G-1/2/17 tanggal 29 Oktober 1953 yang dimuat dalam Berita Negara No. 91 tanggal 13 November 1953. Kedua pengumuman tersebut mengatur penerimaan pendaftaran sementara atas permintaan paten.

Octrooi Wet
 digantikan dengan UU No. 6/1989 Tentang Paten sebagai undang-undang produk nasional. Dalam masalah paten terkait ketentuan Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights-IPR, Including Trade in Counterfeit goods(TRIPs) Sejalan dengan Persetujuan TRIPS dilakukan penyempurnaan UU No. 6/1989 dengan UU No.13/1997. No. 13/1997. Saat ini kedua peraturan tersebut telah dihapus digantikan dengan UU No. 14/2001 tentang Paten.

Pengaturan Hukum Tentang Alih Teknologi di Indonesia



GBHN 1994 – 2004, Bab 1 A  menyatakan bahwa :


"Mengembangkan perekonomian yang berorientasi global sesuai dengan kemajuan teknologi dengan membangun keunggulan kompetitif berdasarkan keunggulan komperatif ,sebagai negara maritim dan agraris sesuai kompetensi dan produk unggulan di setiap daerah , terutama pertanian dalam arti luas , kehutanan , kelautan , pertambangan , pariwisata ,serta industri kecil dan kerajinan rakyat. Dan untuk mewujudkan hal tersebut maka pemanfaatan alih teknologi atas kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan mampu memanfaatkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi guna kepentingan masyarakat dan negara".

Maka dari itu perangkat hukum sebagai sarana pembaharuan sosial harus mampu untuk memberikan pengaturan terhadap perkembangan baru khususnya dalam pemanfaatan alih teknologi tersebut . untuk itu alih teknologi harus dapat diatur secara hukum Indonesia, sebagai negara berkembang menyadari bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai peranan penting dalam mempercepat pembangunan sosio ekonomi nasional dan khususnya dalam memperlancar peningkatan produksi  dan memasukkan teknologi asing yang cocok yang tepat dari luar negeri kedalam negeri dengan ketentuan-ketentuan, syarat-syarat yang menguntungkan bagi kepentingan nasional berarti akan memperbesar peranan tersebut Indonesia dalam upaya mensejahtrakan masyarakatnya .

Pengaturan tentang alih teknologi perlu diperhatikan dalam kerangka untuk masuknya teknologi baru di Indonesia, apakah melalui kerjasama lisensi, pemegang hak cipta berhak memberikan lisensi kepada pihak lain berdasarkan surat perjanjian lisensi. Pembangunan industri untuk Indonesia sangat diperlukan terutama dalam kaitan dengan penemuan baru. Suatu penemuan baru harus dapat direaksir segera dimana paten atau penemuan tersebut didaftarkan.Pihak-pihak dapat memulainya pada pengadilan negeri untuk menggunakan paten tersebut dan kepada pihak yang menggunakan lisensi wajib tersebut harus memberikan royalti yang wajar kepada pihak pemegang paten tersebut.

Berdasarkan kategori di atas jelas terlihat bahwa penggunaan teknologi baru atau alih teknologi harus mendapat pengaturan yang memadai sehingga dunia usaha akan terhindar dari peniruan teknologi lain, dan hal ini sejalan dengan persetujuan Pemindahan Teknologi Dalam Aspek-aspek Hukum Dari Pengaruh Teknologi, umumnya tentang tarif dan perdagangan yang merupakan perjanjian perdagangan yang pada dasarnya bertujuan menciptakan perdagangan bebas.yang diharapkan membantu menciptakan pertumbuhan ekonomi danpembangunan guna mewujudkan kesejahteraan manusia.

Persetujuan TRIP’s memuat norma-norma dan standard perlindungan bagi kekayaan intelektual manusia dan menempatkan perjanjian Internasional di bidang hak atas kekayaan intelektual sebagai dasar pengaturan hukum dalam bidang alih teknologi baik yang berkaitan dengan lisensi .Untuk itu perlu menjabarkan dengan tegas dan harus bagaimana mekanisme pengalihan teknologi dari pemilik teknologi asing kepada teknologi Indonesia,sehinga produksi suatu teknologi akan lebih meluas ke negera-negara berkembang..

Hukum sebagai sarana pembaharuan sosial harus mampu untuk memberikan pengaturan terhadap perkembangan baru, untuk itu alih teknologi harus dapat diatur secara hukum Indonesia, sebagai negara berkembang menyadari bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai peranan penting dalam mempercepat pembangunan sosio ekonomi nasional dan khususnya dalam memperlancar peningkatan produksi dari barang dan jasa dalam sektor industri dan memasukkarl teknologi asing yang cocok yang tepat dari luar negeri kedalam negeri dengan ketentuan-ketentuan, syarat-syarat dan harga yang menguntungkan bagi kepentingan nasional berarti akan memperbesar peranan tersebut.

Pengaturan tentang alih teknologi perlu diperhatikan dalam kerangka untuk masuknya teknologi baru di Indonesia, apakah melalui kerjasama lisensi atau melalui penanaman modal asing, pemegang hak cipta berhak memberikan lisensi kepada pihak lain berdasarkan surat perjanjian lisensi.

Pembangunan industri untuk Indonesia sangat diperlukan terutama dalam kaitan dengan penemuan baru. Suatu penemuan baru harus dapat direaksir segera dimana paten atau penemuan tersebut didaftarkan. Pihak-pihak dapat memula pengadilan negeri untuk menggunakan paten tersebut dan kepada pihak yang menggunakan lisensi wajib tersebut harus memberikan royalti yang wajar kepada pihak pemegang paten tersebut. Berdasarkan kategori di atas jelas terlihat bahwa penggunaan teknologi baru atau alih teknologi harus mendapat pengaturan yang memadai sehingga dunia usaha akan terhindar dari peniruan teknologi lain, dan Kalau ini sejalan dengan persetujuan


Bentuk Hukum  Alih Teknologi : Direct Investment, Indirect Investment


Dalam kaitan ini UNCTC menetapkan ada 9 (sembilan)bentuk perjanjian yang terkait dengan alih teknologi yakni :
(1)   Foreign direct invesment
(2)   Joint venture
(3)   Licensing
(4)   Franchising
(5)   Management contracts
(6)   Marketing contacts
(7)   Technical services contracts
(8)   Turn key contracts
(9)   International sub contracting




Sedangkan Rudi Prasetya menyatakan masuknya teknologi (termasuk peralihannya) melalui :


a) direct investment
-  PMA Penuh atau joint venture (patungan)
-  PMDN
b) Indirect investment khususnya lisensi (termasuk franschising).

a.‘Direct Investment’
UU No. 1/1967 mengatur masalah ‘direct investment’ dimana investor harus menanamkan modalnya dalam bentuk pendirian perusahaan (Perseroan Terbatas, mengelola dan  melakukan kontrol langsung  atas  usahanya serta langsung menanggung resiko atas investasinya (pasal 1). Umumnya investor berasal dari perusahaan transnasional atau multinasional dari negara maju. Ada beberapa motivasi mengapa mereka mau menanamkan modal diluar negaranya :
1.                 Adanya kejenuhan pasar dinegaranya, sehingga menimbulkan iklim kompetisi yang ketat dan cenderung tidak sehat.
2.                 Adanya peluang pasar dinegara tujuan investasi atau sekitarnya dan hal itu dilakukan untuk ekspansi pasar.
3.                 Adanya ‘cost of production’ yang tinggi disebabkan oleh mahalnya faktor-faktor produksi, misalnya upah tenaga kerja tinggi; sumber daya alam yang terbatasyang menyebabkan  harga bahan baku menjadi  mahal, sementara sumber daya alam di  negara tujuan investasi sangat signifikan.
4.                 Pendayagunaan kembali mesin-mesin atau teknologi yang dinegaranya sendiri mungkin sudah usang dan dilarang untuk dipakai, misalnya, karena damapak negatif yang signifikan ini (ini harus diwaspadai).
Dalam kaitan dengan alih teknologi , Pasal 2 UU No. 1/1967 menetapkan bahwa     :
”  alat-alat perusahaan dan penemuan-penemuan (Invention) baru milik orang asing termasuk kategori modal asing”. Dalam arti bahwa alat-alat dan penemuan tersebut dapat dianggap sebagai inbreng(pemasukan yang bernilai ekonomis dan dikonversi sebagai saham). Untuk itu perlu diwaspadai agar tidak terjadi mark up harga dan penilaian teknologi secara berlebihan. Alat-alat dan penemuan-penemuan baru tersebut seyogyanya sudah di nilai inclusive sebagai inbreng pada perusahaan.  Namun di dalam praktek, para investor dengan kepiawiannya masih dapat menuntut royatly di luar interest selaku pemegang saham, dengan dalih bahwa keahlian atau know how untuk mengoperasikan alat-alat terebut adalah diluar kesepakatan yang ada dan oleh karena itu harus dihargai; hal yang sama terjadi manakala  invensi atau penemua-penemuan tersebut membutuhkan know-how untuk mengaplikasikannya. Satu hal lagi yang penting untuk diwaspadai jangan sampai alat-alat perusahaan atau penemuan-penemuan baru tersebut ‘sesuatu’ yang sebenarnya dinegaranya sendiri (house country)  sudah usang (obsolote) atau bahkan dilarang karena mencemarkan lingkungan, namun dengan perhitungan agar investasinya dalam menhasilkan alat tersebut dapat kembali , maka alat-alat perusahaan tersebut dibawa serta dalam rangka investasinya di negara tujuan investasi (host country)  yang relatif  memiliki bargaining position lebih lemah. Masih berkenaan dengan alat-alat perusahaan dan penemuan-penemuan, seringkali investor asing melarang partner lokal untuk melakukan perbaikan yang sifatnya pengembangan. Hal inilah yang sering dikritisi bahwa sekian tahun perusahaanPMA di Indonesia  “ Bangsa kita hanya memiliki kemampuan sebatas‘tukang”.
Dalam UU No. 1/1967 sebenarnya diatur alih teknologi dalam 3 (tiga) pengertian :
1.                 a. Transfer of knowledge or skill
2.                 b. Transfre of share (divestasi)
3.                 c. Transfer of employee

Berkaitan dengan transfer of knowledge, Pasal 12 UU No. 1/1967 mewajibkan investor untuk mendidik tenaga kerja Indonesia sebagai upaya pengembangan  kualitas sumber daya manusia. Pendidikan inilah yang idealnya, menjadi sarana alih teknologi. Namun harus diwaspadai manakala mengikuti pendidikan yang diselenggarakan pihak asing, jangan sampai kita terkecoh, maksud hati memperoleh pengetahuan atau teknologi dari mereka,  kenyataannya justru kita yang dijadikan obyek penelitian guna mengembangkan pengetahuan atau teknologi mereka agar dapat mempertahankan posisi determinan dan dominannya terhadap negara berkembang.

Transfer of share
 atau Indonesianisasi saham (divestasi) tujuannya adalah untuk percepatan penguasaan kendali perusahaan (berikut perangkat lunaknya, informasi dan  teknologi). Dalam upaya pencapaian tujuan tersebut sebelum berlakunya PP No. 20/1994 Tentang Kepemilikan Saham Asing Pada Perusahaan Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman modal, kebijakan Pemerintah menetapkan bahwa dalam tempo 15 (lima belas)  atau 20 (dua puluh)  tahun sejak produksi komersil posisi partner Indonesia harus menjadi mayoritas 51% : 49%  dalam kepemilikan saham pada suatu perusahaan PMA. Kenyataannya meski partner Indonesia sudah dalam posisi mayoritas yang asumsinya akan mengendalikan perusahaan, toh kita harus tetap mengakui keunggulan partner asing yang sangat piawai dalam ‘bermain’ di celah-celah hukum, misalnya, kendali tetap mereka pegang melalui berbagai perjanjian seperti technical assistant agreementmanagement agreementdan lain-lain. Adanya  kenyataan itu  sebenarnya  bertentangan  dengan prinsip National Treatment dan Most Favoured Nation yang menjadi prinsip dasar WTO.

Transfer of employee
 ditetapkan dasar pada Pasal 11 yang menetapkan bahwa “ Tenaga kerja asing dapat dipakai di perusahaan, PMA, sepanjang jabatan tersebut belum dapat diisi oleh pengusaha Indonesia”. Ada catatan disini dalam praktek tenaga kerja asing untuk jabatan yang sama dapat memperoleh upah 10 (sepuluh)  kali bahkan lebih dari tenaga kerja Indonesia. Berdasarkan kenyataan tersebut nampak bahwa yang terjadi adalah sell bukan share apalagi transfer of technology yang dapat digunakan sebagai sarana alih teknologi. Memang dalam asal 11 dimungkinkan memperkerjakan tenaga kerja asing, tetapi keahliannya harus ditransfer kepada tenaga kerja Indonesia.

Secara psikologis UU No. 1/1967 tentang PMA dengan UU No. 6/1968 memiliki keterkaitan yakni mengatur suatu badan usaha (berbentuk Perseroan Terbatas) dengan fasilitas tertentu. Perbedaannya, jika UU No. 1/1967 dimaksudkan untuk mengundang investor asing ke Indonesia, sedangkan UU No. 6/196 8untuk melindungi investor dalam negeri. Dalam pengalamannya ada ‘sedikit’ kontradiksi. Hal ini dapat dilihat UU No. 1/1967 dalam Pasal 18 menetapkan perusahaan PMA dibatasi jangka waktu berusahanya selama 30 tahun, sedangkan Pasal 6 UU No. 1/1968 membatasi jangka waktu perusahaan asing,
1.                 dibidang perdagangan berakhir pada tanggal 30 Desember 1997
2.                 dibidang industri berakhir pada tanggal 31 Desember 1997
3.                 dibidang lainya akan ditentukan lebih lanjut oleh Pemerintah daam batas waktu 10 s/d 30 tahun.

Ketentuan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan PP No. 36/1997 Jo PP No. 19/1988 Tentang Pengakhiran Kegiatan Usaha Asing dalam bidang Perdagangan dan Kemudian diikuti dengan SK Menteri Perdagangan No. 77/KP/III/78 Jo SK No.376/KP/XI/88 Tentang Kegiatan Perdagangan Terbatas Pengusahaan Produksi Dalam Rangka Penanaman Modal yang menetapkan bahwa “Perusahaan asing tidak di izinkan menjual produknya kepada konsumen dan untuk itu harus bekerja sama dengan perusahaan nasional selaku distributor”.

Adanya ketentuan tersebut dianggap sebagai tindakan pembatasan (Business Restriction) yang bertentangan dengan Trade Related Investment Measures (TRIMS) sebagai salah satu agenda WTO. Adanya ketentuan tersebut disikapi oleh  investor asing dengan jalan mengalihkan aktivitasnya dalam bentuk ‘indirect investment’, misalnya, dengan cara membuat perjanjian lisensi.


b. Indirect Investment : Perjanjian Lisensi Paten


UU No. 14/2001 menetapkann bahwa : “Paten adalah hak eklusif yang diberikan oleh negara kepada investor (penemu) atas hasil invensi (penemuannya) dibidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya”. (Pasal 1 Angka 1). Invensi (penemuan) adalah ide inventor (penemu) yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik dibidang teknologi dapat berupa produk atau proses atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses (Pasal 1 Angka 2).

Berdasarkan ketentuan tersebut, hakekat paten adalah suatu hak ‘monopoli’ yang diberikan negara kepada investor sebagai reward atau incentive baginya atas pengungkapan invensi tersebut kepada masyarakat (pada saat pengumuman) melalui patent description / spesification. Tujuannya adalah agar masyarakat memperoleh pengetahuan baru dalam mendorong masyarakat untuk melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan. Sebaliknya bagi bagi inventor, paten memberikan hak ekonomis untuk mengeksploitasi penemuannya, antara lain, melalui perjanjian lisensi dengan imbalan royalty. Disamping itu inventor memiliki hak moral agar namanya selaku inventor tetap di cantumkan dalam sertifikat paten, meski patennya telah dialihkan kepada pihak lain, misalnya perusahaan sebagai pemegang paten. Dan kondisi ini askan memacu proses industrialisasi suatu negara.


substantif / materiil agar suatu teknologi dapat dipatenkan adalah

1.                 novelty (kebaruan)
2.                 Inventive step (langkah inventif)
3.                 Industrially applicable (dapat diterapkan dalam industri)

Suatu teknologi dianggap baru jika teknologi tersebut tidak sama dengan ‘prior art’ (teknologi paling mutakhir saat itu yang menjadi pembanding). ‘Prior art’ dalam bahasa undang-undang disebut “teknologi yag telah diungkapkan atau diumumkan sebelumnya”. Dalam hal ini pengumuman dimaksudkan dapat berupa suatu tulisan; uraian lisan atau melalui peragaan atau cara-cara lain yang mengakibatkan seorang ahli (meniru) melaksanakan invensi yang sama. Ukuran kebaruan juga didasarkan pada jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan setelah adanya invensi harus segera didaftarkan, jika tidak maka nilainoveltynya akan gugur.

Suatu invensi dianggap mengandung langkah infentif. Jika invensi tersebut bagi seseorang yang memiliki keahlian tertentu di bidang teknik bersifat ‘non obvious’ (tidak dapat diduga sebelumnya). Invensi dapat diterapkan dalam industri jika invensi dapat dilaksanakan sesuai uraian dalam permohoman.

Selain ketiga syarat tersebut diatas yang sifatnya ‘world wide’, untuk permintaan paten di Indonesia harus memperhatikan Pasal 7 UU No. 14/2001 bahwa paten tidak dapat diberikan untuk invensi tentang :
1.                 Proses atau produk yang pengumuman dan penggunaan atau pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, ketertiban umum atau kesusialaan.
2.                 Metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan atau pembedahan yang diterapkan terhadap terhadap manusia dan atau hewan.
3.                 Teori dari metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika, atau
4.                 i.  Semua makhluk hidup kecuali jasad renik

Pasal 7 ini terkandung muatan aksiologi yang dalam sebagai pertimbangan kebijakan pemberian paten. Hukum dalam  hal ini tidak hanya sekedar memberikan hak monopoli tanpa batas, namun  ada norma-norma tertentu yang harus ditaati. Sebagai contoh jika tidak ada ketentuan Pasal 7 butir (a) dapat dibayangkan bagaimana ekses yang ditimbulkan, perkembangan teknologi akan semakin meningkatkan sifat materialisme manusia; jika  ketentuan dalam huruf (b) tidak ada, maka biaya perolehan teknologi yang sangat besar akan meningkatkan biaya pelayanan kesehatan selain hal tersebut diatas sebenarnya UU paten ini juga harus disinkronkan dengan aturan mengenai ‘Bio diversity’ dan aspek sumber daya lainnya.

Pada prinsipnya “Pemegang paten wajib membuat produk atau menggunakan proses yang diberi paten di Indonesia, kecuali jika hal itu hanya layak dilakukan secara regional, asalkan disertai permohonan tertulis kepada yang berwenang (Pasal 17). Ketentuan ini dimaksudkan agar terjadi alih teknologi (lebih-lebih jika pemegang paten adalah inventor asing).

Perjanjian lisensi merupakan hal yang krusial untuk dikaji.  Kata lisensi (Licence) pada dasarnya meliputi : a) lisensi sukarela (valuntary licensing) dan (b) lisensi wajib (Compulsory licensing). Lisensi diartikan sebagai :  “a personal prevelege to do some particular act … and is ordonary receable at the will of lecensor and is not assignable”.

Dalam pasal 71 UU No. 14 / 2001 dinyatakan bahwa perjanjian lisensi  dilarang  (a) memuat ketentuan yang baik langsung maupun tidak langsung dapat merugikan perekonomian Indonesia atau (b) memuat pembatasan-pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya dan yang berkaitan dengan inovasi yang diberi paten pada khususnya. Termasuk dalam perbuatan yang dilarang oleh Pasal 71 ini antara lain : (a) 
tie-in restriction(b)  restrictive business practices (rbp) dan (c) grant back provison). Perbuatan yang mewajibkan lisensi untuk membeli bahan baku pada pihak yang ditunjuk licensor dengan dalih menjaga kualitas produk adalah tie-in restriction. Klausula -klausula  rbp ada pada price restriction; teritorial restriction; field of use and customer restriction; output restriction; packaging licensing. Sedangkan lisensi yang mengandung grant back provision adalah memuat ketentuan bahwa :” setiap perbaikan, inovasi atau pengembangan terhadap invensi yang dilisensikan oleh licensee memberikan hak bagi licensor untuk menggunakan invensi tersebut”.

Lebih lanjut dalam Pasal 72 ditetapkan: ”Setiap perjanjian lisensi harus dicatat dan diumumkan dengan dikenai biaya. Dalam hal perjanjian lisensi tidak dicatat di Dirjen HKI, tidak mempunyai akibat hukum bagi pihak ketiga”.  Pencatatan perjanjian lisensi adalah wujud campur tangan yang diperkenankan dalam Pasal 40 Persetujuan TRIPs guna melindungi posisi licensee yang umumnya ditengarai memiliki posisi  yang lemah.  Ketentuan ini  mencegah penyalahgunaan  hak paten oleh licensor ( terlebih foreign licensor) dan kesemua itu untuk kontribusi perekonomian nasional. Selain itu pencatatan berfungsi untuk mengetahui jumlah dan bentuk invensi yang telah di lisensikan agar dapat diproyeksikan oleh teknologi masa depan

Selain lisensi sukarela, masalah alih teknologi dapat juga  melalui perjanjian lisensi  wajib yang  tertuang dalam Pasal 74 sampai dengan 87 UU No. 14 / 2001. Alasan lisensi wajib ada 2 (dua) :
1.                 Jika paten atas suatu invensi tidak dilaksanakan atau dilaksanakan tidak sepenuhnya di Indonesia oleh pemegang paten dalam waktu 36 (tiga puluh enam bulan) terhitung sejak tanggal pemberian paten (Pasal 75)
2.                 Jika sewaktu-waktu ternyata pelaksanaan paten suatu pihak ternyata tidak mungkin dapat dilakukan tanpa melanggar paten lain yang telah ada.

Alasannya :
(a) terkait dengan ketentuan kewajiban pelaksanaan paten di Indonesia sebagaimana diatur pada Pasal 17 tersebut diatas.
(b) Memungkinkan terjadinya  cross licensing yang saling menguntungkan antara pemilik paten  dengan penerima lisensi wajib. Permohonan lisensi wajib diajukan kepada Dirjen HKI disertai bukti :
1.                 pemohon mempunyai kemampuan untuk melaksanakan sendiri patennya secara penuh
2.                 mempunyai fasilitas untuk melaksanakan paten tersebut
3.                 telah mengambil langkah-langkah dalam jangka waktu yang cukup untuk mendapat lisensi (sukarela) dari pemegang paten atas dasar persyaratan dengan kondisi yang wajar tetapi tidak memperoleh hasil. Lisensi wajib akan diberikan jika paten tersebut dapat dilaksanakan dalam skala yang layak dan memberikan manfaat kepada sebagian besar masyarakat.


Cara Alih Tehnologi


Alih teknologi dari suatu negara kenegara lain, umumnya dari negara maju berkembang dapat dilakukan dengan berbagai cara tergantung pada macamnya bantuan teknologi yang dibutuhkan untuk suatu proyek. Teknologi dapat dipindahkan melalui cara sebagai berikut.

  1. Memperkerjakan tenaga-tenaga ahli aging perorangan. Dengan cara ini negara berkembang bisa dengan mudah mendapatkan teknologi, yang berupa teknik dan proses manufacturing yang tidak dipatenkan. Cara ini hanya cocok untuk industri kecil dan menengah.
  2.    Menyelenggarakan suplai dari mesin-mesin dan alat equipment lainnya. Suplai ini dapat dilakukan dengan kontrak tersendiri.
  3. Perjanjian lisensi dalam teknologi sipemilik teknologi dapat memudahkan teknologi dengan memeberikan hak kepada setiap orang/badan untuk melaksanakan teknologi dengan suatu lisensi.

4.      Expertisi dan bantuan, teknologi. Keahlian dan bantuan dapat berupa:
o    Studi pre-investasi.
o    Basic pre-ingeenering.
o    Spesifikasi masin-mesin.
o    Pemasangan dan menja1ankan mesin-mesin.
o    Manajemen.


Kebijaksanaan pemerintah menerbitkan UU NO. 1/1967 tentang PMA merupakan langkah awal bagi Indonesia untuk melakukan kerjasama dengan pihak asing yang termasuk didalamnya pengalihan teknologi. Alih tehnologi pada kenyataannya harus dibeli dengan harga tinggi. Teknologi pada hakekatnya telah menjadi komoditi yang mahal dan langka karena banyak diminta keadaan tersebut makin tertampilkan karena alih teknologi PMA selalu dikaitkan dengan bidang yang menjadi otoritas IPR (Intelektual Property Right). IPR telah larut dalam tahap pemilihan teknologi yang digunakan, pada tahap produksi dan begitu pula pada saat produk dipasarkan. Bahkan disinyalir IPR telah menjadi komoditi dagang itu sendiri.


Kita dapat melihat bahwa alih teknologi bukan merupakan hal yang mudah dan murah tapi sesuatu yang mahal. Membutuhkan perhitungan yang matang dalam kerangka memajukan teknologi dalam era globalisasi. Indonesia dalam menghadapi era globalisasi mau tidak mau harus berani menerapkan perjanjian alih teknologi dalam kerangka menghindarkan ketertinggalan dengan negara lain pada era globalisasi. Penciptaan hukum perlu diciptakan kaedah hukum baru di Indonesia. Dalam penciptaan hukum tersebut terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan :

1.   Masaalah yang bersifat teknis yuridis.
2.   Masaalah substansi aturan hukum yang akan diciptakan.
3.   Masaalah arah politik hukum nasional.


ad.1. Masalah teknis yuridis, menyangkut hal-hal yang berupa tata cara dalam pembentukan, pengundangan dan pemberlakuan aturan hukum.


ad.2. Masaalah substansi aturan hukum berfokus dan berpersoalan materi yang menjadi muatan aturan yang akan diciptakan. 

ad.3. Pembentukan aturan hukum bersandar pada kebijaksanaan Nasional yang lazim dituangkan keberbagai peraturan perundangan peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi peringkatnya .

Globalisasi akan merupakan peluang bila mana kita siap dan dapat memanpaatkannya dengan baik serta berusaha mengatasi bahaya-bahayanya bagi kehidupan nasional. Sebaiknya akan menimbulkan musabab apabila kita tidak siap dengan global vision dan hanyut bersama sisi-sisi berbahaya bagi kehidupan nasional tersebut antara lain adalah saling ketergantungan antara bangsa semakin meningkat berlakunya standar-standar baku antara nasional diberbagai kehidupan kecenderungan melemahnya ikatan-ikatan etponosentrik dan ikatan-ikatan nasional, dominasi modal asing dan peran serta yang paling kuat, berkembangnya konsep kesejahteraan regional dan global serta perobahan sosial yang sangat cepat (pandangan lotge) untuk itu perlu diperhatikan pengembangan peraturan akhir teknologi dengan memperhatikan peringkat hukum nasional, regional dan internasional.

Penerapan peraturan,tersebut sangat penting artinya dalam usaha memajukan produksi negara berkembang yang akan di pasarkan kepasar regional dan global untuk itu maka Indonesia harus segera menerapkan ahli teknologi dalam bidang penerimaan modal asing, paten dan merek. Lisensi merupakan cara untuk ahli teknologi perjanjian lisensi merupakan perjanjian antara pemilik teknologi dengan negara berkembang dalam memproduksi suatu produk.


contoh kasus :
KSAL: Alih Teknologi Perlu, Ekstremnya dengan 'Nyolong'
Maket LST rancangan PT. Kodja. (Foto: Berita HanKam)

25 Januari 2011, Jakarta -- (TEMPO Interaktif): Kepala Staf TNI AL, Laksamana TNI Soeparno menekankan pentingnya dilakukan alih teknologi pembuatan alat utama sistem persenjataan (alutsista), khususnya di kalangan TNI AL. Pengadaan alutsista akan difokuskan dari hasil produksi dalam negeri.

"Yang sudah bisa kita buat sendiri (dalam negeri-red), pasti kita beli. Kalau setengah-setengah, ya kita join. Setengah dari luar (negeri), setengah dari dalam," kata Soeparno dalam jumpa pers usai membuka Rapat Pimpinan TNI AL 2011 di Markas Besar TNI, Cilangkap, Selasa 25 Januari 2011.

Jika pembelian alutsista produksi dalam negeri masih belum bisa diwujudkan lantaran teknologinya masih belum memadai, lanjutnya, maka TNI terpaksa memilih teknologi dari luar. "Namun ada embel-embelnya, yaitu transfer of technology. Jadi pelan tapi pasti, teknologi itu kita ambil dengan cara bermacam-macam," ujarnya.

Di antaranya, dengan cara mengirimkan tenaga ahli TNI ke luar negeri, atau sebaliknya mendatangkan tenaga ahli dari luar negeri untuk mengerjakan alutsista di Indonesia. Soeparno menilai, alih teknologi tidak akan maksimal jika hanya dilakukan dengan cara normal.

"Ya harus dengan macam-macam cara. Ekstremnya dengan nyolong juga. Maksudnya nyolong teknologi," kata dia. "Karena kalau yang resmi-resmi, yang penting-penting, yang harganya mahal, (teknologi) itu tidak dikasih ke kita."

Hingga tahun 2024 mendatang, TNI AL akan konsisten menuju pemenuhan kekuatan pokok minimal (Minimum Essential Force) TNI. Arah kebijakan TNI AL tidak akan berubah walaupun pejabat-pejabat yang ada di dalamnya berganti.





sumber :